KODEMIMPI - Aturan tentang pidana percobaan 10 tahun terkait hukuman mati dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru tidak bakal berlaku bagi Ferdy Sambo.
Majelis hakim memberikan vonis mati kepada mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri itu dalam kasus pembunuhan berencana Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J).
"KUHP baru belum bisa digunakan karena peristiwanya terjadi sebelum adanya KUHP baru dan bertentangan dengan asas legalitas," kata ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, Menurut Abdul, aturan tentang vonis mati dan pelaksanaannya terhadap Ferdy Sambo masih tetap mengacu kepada KUHP yang lama.
Dia mengatakan jika aturan tentang hukuman mati dalam KUHP baru diterapkan terhadap Sambo justru akan menimbulkan permasalahan hukum.
"Bertentangan dengan asas legalitas jika KUHP baru diberlakukan," ujar Abdul.
Secara terpisah, ahli hukum pidana dari Universitas Indonesia, Eva Achjani Zulfa, juga menyatakan pendapat yang sama dengan Abdul.
Menurut dia, aturan pidana mati dalam KUHP terbaru tidak bisa diterapkan kepada Ferdy Sambo.
"Masih tetap mengacu pada KUHP lama karena KUHP baru akan berlaku 3 tahun yang akan datang,"
Di sisi lain, Undang-Undang KUHP disahkan pada 6 Desember 2022 lalu baru diberlakukan pada Januari 2026. Sebab di dalam UU KUHP itu terdapat aturan yang memberikan masa tenggang 3 tahun sebelum KUHP lama yang saat ini masih digunakan dinyatakan tidak berlaku.
Dalam Pasal 100 Ayat (1) UU KUHP disebutkan hakim bisa menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan 10 tahun dengan mempertimbangkan tiga hal.
Pertimbangan itu adalah rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri, peran terdakwa dalam tindak pidana, atau alasan yang meringankan.
Artinya, KUHP baru mengatur bahwa terpidana hukuman mati tidak bisa langsung dieksekusi. Mereka memiliki hak untuk menjalani masa percobaan dengan penjara selama 10 tahun.
“Pidana mati dengan masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dicantumkan dalam putusan pengadilan,” sebagaimana dikutip dari KUHP Nasional.
Pasal 100 ini juga menyatakan masa percobaan dimulai 1 hari setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (inkrah).
Jika selama menjalani masa percobaan terpidana menunjukkan sikap terpuji, maka pidana mati bisa diubah menjadi hukuman seumur hidup dengan Keputusan Presiden (Keppres) setelah mendapatkan pertimbangan dari Mahkamah Agung (MA).
Kemudian, jika selama menjalani masa percobaan itu terpidana tidak menunjukkan sikap dan perbuatan terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, maka ia akan dieksekusi.
“Pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung,” sebagaimana dikutip dari Ayat (5) Pasal 100 tersebut.
Lebih lanjut, Pasal 101 KUHP Nasional menyatakan, jika permohonan grasi terpidana mati ditolak presiden, dan pidana mati tidak dilaksanakan selama 10 tahun sejak grasi ditolak bukan karena terpidana melarikan diri, pidana mati bisa diubah menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Presiden.
Sebelumnya, majelis hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan vonis mati terhadap Sambo.
"Menyatakan terdakwa Ferdy Sambo telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum melakukan tindak pidana turut serta melakukan pembunuhan berencana dan tanpa hak melakukan perbuatan yang menyebabkan sistem elektronik tidak berfungsi sebagaimana mestinya," kata Ketua Majelis Hakim Wahyu Iman Santosa saat membacakan amar putusan Sambo di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (13/2/2023).
"Menjatuhkan terdakwa dengan pidana mati," lanjut Hakim Wahyu.
Hakim Wahyu menyatakan terdapat sejumlah hal yang memberatkan dalam putusan terhadap Ferdy Sambo.
Pertama, perbuatan Ferdy Sambo dilakukan terhadap ajudan sendiri yang telah mengabdi selama tiga tahun.
Kedua, perbuatan Ferdy Sambo mengakibatkan duka mendalam bagi keluarga korban
Ketiga, perbuatan Ferdy Sambo menyebabkan kegaduhan di masyarakat.
Keempat, perbuatan Ferdy Sambo tidak pantas dalam kedudukannya sebagai aparat penegak hukum, dalam hal ini Kadiv Propam.
Kelima, perbuatan Ferdy Sambo telah mencoreng institusi Polri di mata Indonesia dan dunia.
Keenam, perbuatan Ferdy Sambo menyebabkan anggota Polri lainnya terlibat.
Ketujuh, Ferdy Sambo berbelit-beli, tidak mengakui perbuatannya.
"Hal meringankan: tidak ada hal meringankan dalam perkara ini," ucap Hakim Wahyu.
Setelah pembacaan vonis terhadap Sambo selesai, majelis hakim melanjutkan pembacaan putusan terhadap istrinya, Putri Candrawathi.
"Menyatakan terdakwa Putri Candrawathi terbukti secara sah bersalah turut serta melakukan tindak pidana pembunuhan berencana," kata Hakim Wahyu.
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 20 tahun," ucap Hakim Wahyu.
Menurut hakim, hal yang memberatkan perbuatan Putri adalah dia selaku istri Kadiv Propam Polri dan Bhayangkari seharusnya menjadi teladan. Perbuatan Putri juga dinilai mencoreng nama baik Bhayangkari.
Putri juga berbelit-belit dalam persidangan sehingga menyulitkan pembuktian. Putri tidak mengakui kesalahannya dan justru mengaku sebagai korban
Lalu, perbuatan Putri dinilai menimbulkan kerugian besar bagi para personel kepolisian lainnya yang ikut terseret perkara ini.
"Hal meringankan tidak ada," kata hakim.
Vonis majelis hakim itu lebih tinggi dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU).
Pada Selasa, 17 Januari 2023, JPU menuntut Ferdy Sambo dengan pidana penjara seumur hidup.
Sehari kemudian, JPU menuntut Putri dengan pidana penjara selama 8 tahun dalam kasus pembunuhan berencana.
Saat ini kuasa hukum keduanya menyatakan akan mempelajari putusan hakim dan mengambil keputusan apakah akan mengajukan upaya hukum lanjutan seperti banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
"Kami akan pelajari dulu putusannya," kata kuasa hukum Ferdy Sambo, Arman Hanis.